Oleh:
Ardian Nur Rizki
Setelah menyadari ketertinggalan bangsa Jepang di
pelbagai lini, Kaisar Mutsuhito sontak menggaungkan kebijakan Restorasi Meiji
(1868-1912). Sang Kaisar menjadikan pendidikan sebagai tulang punggung
pelaksanaan restorasi. Selain ‘mengimpor’ guru, Jepang juga getol mengirim
warganya ke luar negeri untuk mempelajari kunci kemajuan peradaban barat.
Hasilnya, Jepang muncul sebagai negara digdaya yang berhasil menghempas Rusia
(1905).
Pada tahun 1957, Senator John F. Kennedy merespons
ketertinggalan AS dalam teknologi ruang angkasa (Sputnik) dengan pertanyaan
satire, “What’s wrong with American
classroom?”. John F. Kennedy beranggapan bahwa keberhasilan AS dalam
persaingan global era Perang Dingin sangat ditentukan oleh pendidikan yang
direpresentasikan oleh kegiatan pembelajaran di ruang kelas.
Dalam gurat sejarah Indonesia, guru juga tercatat
memiliki andil besar dalam mendirikan entitas bangsa yang mahardika. Tercatat
Ki Hadjar Dewantara, K.H. Hasyim Asyari, K.H. Ahmad Dahlan, Soedirman, H.O.S.
Tjokroaminoto, Tan Malaka, hingga Bung Karno, pernah mengabdikan diri sebagai
guru. Para founding fathers tersebut
berprofesi sebagai guru, bukan saja dalam artian konotatif, melainkan juga
denotatif. Mereka juga mengajar, menyemai ilmu pengetahuan, menebar khazanah
ihwal nasionalisme dalam balut kejuangan.
Ketiga peristiwa di atas membuktikan bahwa pendidikan
–dengan guru sebagai ujung tombaknya– merupakan faktor fundamental penentu
jaya-binasanya sebuah bangsa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika guru
ditahbiskan sebagai profesi yang agung lagi adiluhung. Bahkan dewasa ini, di tengah era globalisasi
dan tunggang-langgang laju teknologi, guru tetap menduduki posisi vital penentu
‘mati atau muktinya’ kualitas manusia. Bedanya, guru masa kini juga dituntut
memiliki empat kompetensi –kepribadian, sosial, pedagogi, dan profesional—yang
harus dikuasai secara holistis. Profesionalisme guru di abad ke-21 adalah
keniscayaan yang tidak bisa dinegosiasi. Suatu ujud etos kerja yang kian gencar
diupayakan untuk mereduksi kusut-runyam rona pendidikan.
Pendidikan
Profesi Guru (PPG)
Guru merupakan ujung tombak eksekutor pendidikan.
Sebaik-baiknya ‘pusaka kurikulum’, jika dieksekusi dengan tombak yang majal,
maka sangat berpotensi untuk gagal. Oleh karena itu, perbaikan kualitas guru
mesti dilakukan dengan holistis dan sinambung. Kualitas guru seyogianya
diupayakan secara komprehensif melalui perbaikan dari hulu hingga hilir, input sampai output, pra dan pasca-jabatan.
Untuk meningkatkan kualitas guru,
sekaligus sebagai upaya pengentas karut-marut rona pendidikan, pemerintah
mencanangkan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Tujuan program PPG, sebagaimana yang termaktub dalam
Permendiknas No.87 Tahun 2013 adalah untuk menghasilkan calon guru yang
memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran
serta untuk mengembangkan profesionalitas guru. Selain itu, melalui bimbingan
dalam kehidupan keasramaan, program PPG juga berupaya untuk mewujudkan guru
yang berlaku sosial baik dan berkepribadian
bajik.
Program
PPG ini merunut pada kebijakan yang telah dicanangkan oleh negara-negara maju.
Di Amerika Serikat, guru diseleksi ketat sejak dari input, yaitu; hanya 20%
siswa dengan prestasi akademik terbaik yang berhak melanjutkan studi di
fakultas keguruan. Selanjutnya, dituntut harus berpendidikan S1 ditambah satu
s.d. dua tahun kuliah dan latihan keguruan untuk mendapat sertifikat guru.
Sementara di Jerman, setelah lulus dari universitas, guru harus melalui tahap
magang selama 18 bulan dan dipungkasi dengan ujian mengajar. Lisensi mengajar
baru diberikan jika guru mampu melalui keseluruhan tahap tersebut (Soedijarto,
2008).
Menyandang
‘derajat’ guru profesional memang tidak gampang. Derajat profesional itu tinggi
lagi mukti, melampaui derajat semi-profesional, teknisi, juru, dan tukang. Program PPG ibarat kawah candradimuka
bagi penempaan guru-guru profesional. Untuk membentuk ‘guru sejati’, yang
digadang-gadang mampu membawa bangsa Indonesia mengentaskan centang-perenang
problematika pendidikan. Demi mewujudkan ‘guru hakiki’, yang tidak hanya
berorientasi pada besaran gaji, tetapi sebagai perwujudan bakti pada ilahi yang
berlandas ketulusan abdi.
Kritik
Pelaksanaan PPG V
Di
Indonesia, PPG telah diimplementasikan sejak 2011 sebagai pengejawantahan UU No.
14/2005. Meski telah menginjak tahun kelima, tetapi pelaksanaannya masih kerap
menuai permasalahan elementer. Bukannya membaik, dari tahun ke tahun,
pelaksanaannya justru kian cekik. Pelaksanaan PPG V –yang bertujuan untuk
mencipta guru profesional— malah acap menihilkan profesionalitas.
Peserta
PPG kerap gamang karena diombang-ambing ketidakjelasan kebijakan. Mulai dari
‘uang saku’ yang dipangkas, padahal tidak ada gejala deflasi ekonomi, kesulitan
mencairkan uang sarapan pagi ketika PPL, hingga yang paling mutakhir –sekaligus
yang paling bikin getir—adalah perihal Kontroversi Regulasi Uji Kompetensi
Nasional Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (UKMPPG).
Lupakan
dulu perihal pemangkasan uang saku. Toh upaya peserta PPG V untuk menagih hak
yang pantas –dalam setiap kegiatan audiensi— selalu mentah berbalas bantah. Tak
mengapa. Dalam budaya timur, profesi guru itu kultus lagi kudus sehingga terasa
kurang etis jika menuntut uang saku yang pantas (meski tidak bertujuan untuk
memenuhi orgasme hedonisme).
Ada
hal yang lebih fundamental, perihal kebijakan binal dan regulasi nir-akal,
terkait pelaksanaan UKMPPG. Berikut adalah kritik (baca: curahan hati) penulis,
secara pribadi –selaku peserta PPG
V— terhadap kecentang-perenangan PPG V, wabil
chusus pelaksanaan UKMPPG:
1. Kurangnya
Sosialisasi Materi UKMPPG
Jika dibandingkan empat edisi sebelumnya, materi
UKMPPG pada tahun kelima bisa dibilang paling gres, yaitu dengan mengujikan
empat kompetensi guru (sosial, kepribadian, pedagogik, dan profesional). Sejatinya,
tujuannya baik, yakni agar peserta PPG dapat menguasai empat kompetensi guru
secara komprehensif. Namun, kurangnya sosialisasi mengakibatkan banyak peserta
yang baru mengetahui regulasi ini pada awal semester kedua pelaksanaan PPG,
itupun masih berupa kesimpangsiuaran.
Prodi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) lebih apes lagi.
Bagaimana tidak? Rekan-rekan Prodi IPS tidak dapat menemukan kisi-kisi di laman
Belmawa/Dikti. Tentu hal ini sangat merugikan. Bahkan kisi-kisi untuk Prodi IPS
baru diberikan sekitar seminggu menjelang UKMPPG. Sungguh, memprihatinkan!
2. Ketidakjelasan
Sistem Penilaian UKMPPG
Peserta
PPG V kian akrab dengan kesimpangsiuran. Bagaimana tidak? Setiap LPTK mempunyai
versi masing-masing perihal batas ketuntasan UKMPPG. UNP mem-publish angka 80, LPTK lain 76, adapula
yang 65. Belum lagi ketidakjelasan terhadap proporsi masing-masing aspek yang
diujikan. Peserta PPG sama sekali buta tentang jumlah butir soal pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional.
Peserta
juga masih banyak yang tidak tahu menahu perihal sistematika penilaian aspek
sosial dan kepribadian, atau mengenai berapa banyak butir soal yang harus dijawab dengan benar untuk mencapai
kelulusan; Segala Informasi Terbabang.
Gamang!
Segala
pertanyaan terlontar, tiada berbalas jawab, tetapi malah bikin semakin kalap.
Saya pribadi –yang biasa menggunakan strategi mengerjakan tes dengan penuh
perhitungan (misal dengan mendahulukan soal yang gampang dan meprioritaskan
soal yang berbobot nilai banyak)— pada
akhirnya harus melupakan segala macam strategi.
Prodi
Matematika adalah yang paling dirugikan terhadap ketidakadilan sistem penilaian
UKMPPG. Pasalnya, berdasarkan informasi yang saya dapat, dari 40 soal materi
profesional, terdapat 5 soal yang nihil jawaban. Namun, bukannya dianulir,
kelima soal tersebut justru ‘dihilangkan’
(dianggap tidak pernah ada). Ironisnya, ‘penghilangan’ kelima soal itu tidak
diumumkan saat UKMPPG berlangsung! Artinya, peserta UKMPPG Prodi Matematika
terlanjur bersusah payah untuk mencoba menyelesaikan kelima soal yang nihil
jawaban tersebut. Dan tidak ada kompensasi bagi waktu yang terbuang. Tidak ada
penganuliran soal (baca: bonus) karena blunder pembuat soal.
Jika
informasi ini valid, maka untuk mencapai passing
grade, peserta UKMPPG Matematika mesti menjawab dengan benar minimal 27
soal dari 35 soal yang sah. Sekali lagi, tanpa kompensasi waktu yang telah
tereduksi karena ikhtiar peserta dalam memecahkan soal nirjawaban! Adilkah?
3. Jadwal
Pelaksanaan dan Pengumuman UKMPPG
Peserta PPG V harus membagi konsentrasi antara
tugas/kewajiban persekolahan dan persiapan ‘ujian hidup mati’ UKMPPG. Beberapa
LPTK (sebut saja UNJ dan UPI) telah melaksanakan reschedule dengan ciamik, yakni dengan melaksanakan PPL lebih awal,
sehingga dapat diselesaikan lebih awal pula. Dengan demikian, peserta PPG
mempunyai cukup banyak waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi UKMPPG, tanpa
terbebani tugas dan kewajiban persekolahan lagi.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Lain
UNJ, lain pula UNY. Peserta PPG UNY mesti menghadapi UKMPPG di tengah
tungkus-lumus rutinitas PPL. LPTK UNY hanya menyediakan space waktu 48 jam (pada tanggal 16 dan 17 November) sebagai hari
tenang persiapan UKMPPG. Dalam hal ini, cara UPI dan UNJ dapat dijadikan contoh
bagi UNY untuk mengatur jadwal yang memudahkan pesertanya.
Perihal pengumuman UKMPPG juga terlalu banyak
memakan waktu. Padahal UKMPPG dilaksanakan dengan berbasis komputer, seharusnya
untuk menginput hasilnya tidak membutuhkan waktu hingga lebih dari tiga minggu!
Ketika kami
memberondong para pemangku kebijakan PPG dengan pertanyaan, “Kapan UKMPPG
diumumkan? Adakah UKMPPG Ulang 1 dan 2 sebagaimana tahun lalu?”
Mereka selalu melontar
jawaban seragam, “Sabar. Hal itu baru akan dirapatkan.”
(Jawaban
semacam itu terus bergaung hingga triminggu berlalu)
Oleh karena itu, jangan heran jika muncul prasangka
bahwa PPG hanyalah proyek sambilan semata! Bagi pengampu kebijakan, PPG
tidaklah penting-penting amat. Selain untuk memperkaya pundi-pundi harta
pengurusnya.
Jika memang
PPG adalah prioritas. Bagaimana mungkin rapat remeh temeh macam ini saja sampai
memakan waktu hingga hampir sebulan? Apalagi jika melihat hasil rapatnya,
sepertinya jauh dari proses hikmat kebijaksanaan. Tidakkah mereka berpikir
bahwa Ayah-Ibu peserta PPG sampai tidak enak makan menanti hasil ujian buah
hatinya? Hahaha.. Retoris! Jawabannya; Jelas Tidak!
-o0o-
Saya
menuliskan ini dengan penuh keinsyafan.
Bahwa
rekan-rekan saya, Peserta PPG V, yang telah berjuang selama dua belas purnama
di batas nusa, adalah pengabdi tulus lagi cerdas – garda pengawal masa depan
pendidikan bangsa!
Namun,
cita-cita mulia mereka hendak direnggut oleh sistem busuk!
Mimpi
mulia mereka akan diberangus oleh regulasi puruk terkutuk!
Para
Pejabat.. Tolong.. Jangan mengubah regulasi dengan seenak jidat!
Dulu
kau janjikan Ujian Utama, Ujian Ulang 1 dan 2.
Lalu
berubah; hanya Ujian Utama saja. Sekali saja.
Lalu
berubah; ada Ujian Ulang 1. Tanpa Ujian 2.
Hahaha!
Apa pasal?
Hey,
Bung!
Jangan
permainkan cita-cita kami!
Jangan
merunyak restu tulus Ibu-Ayah kami!
Kami
rela meninggalkan mahligai kehidupan kota nan menggelimang
Kami
wakafkan sepenuhnya hidup kami di perbatasan yang sarat keterbatasan..
Demi
Pendidikan!
Demi
Kemanusiaan!
Demi
Pengabdian!
Bapak-Ibu
kami menanti kepulangan kami..
Siswa-siswi
kami di pelosok negri menunggu kedatangan kami kembali..
Setelah
semua ini, dengan segenap akal pikir dan nurani, saya meyakini bahwa ada oknum
yang membawa pada keterbengkalaian pelaksanaan PPG V.
Oleh karena itu, saya akan menolak
menghadiri Yudisium dan ritual kosong sejenis, jika para pemangku kebijakan
tetap bergeming pada ketidakadilan dan menihilkan integritas dalam mengelola
Program PPG
Tuntutan
saya, Jelas!
1. Sosialisasikan
regulasi dan sistematika UKMPPG ULANG 1 sejelas-jelasnya.
2. Jikalau
perlu, adakan UKMPPG ULANG 2, sebagaimana rules
tahun lalu.
3. Jangan
mengubah regulasi di tengah jalan tanpa alasan yang rasional
4. Untuk
para pemangku kebijakan, bersumpahlah bahwa PPG adalah prioritas (bukan
sambilan)! Sebagaimana kami yang telah bersumpah untuk mewakafkan hidup kami
untuk menciptakan keluhuran peradaban melalui pendidikan!
Saya
tidak sedang menggalang solidaritas buta.
Siapapun
yang berproses dengan mengelanakan hatinya, pasti tidak rela melihat
rekan-rekan seperjuangannya dicabik-cabik sistem purba pembawa petaka!
Yang Tersakiti,
Ardian Nur Rizki
Konten
merupakan pendapat pribadi.
Penulis
bertanggung jawab atas segala kedunguan dalam tulisan ini.
Salam
MBMI.