KEPEMIMPINAN TOKOH HABIBIE DALAM NDUSTRI PERTAHANAN

Kepemimpinan Tokoh Habibie Dalam Industri Pertahanan
Oleh : Julio Ustari Putra M.Han

Pasca-Perang Dingin, dua sektor utama perekonomian–komersial dan pertahanan–menghadapi perubahan yang signifikan dan mengalami perampingan. Sektor pertahanan dipaksa dalam satu dekade terakhir untuk menyesuaikan ke era pasca-Perang Dingin dan menemukan manfaat komersial bagi banyak teknologi yang terkait dengan militernya. Sementara industri komersial ditantang dengan peningkatan persaingan, produktivitas yang lebih tinggi, dan permintaan yang lebih tinggi untuk kualitas produk dan siklus pengembangan yang lebih pendek.
Ketika pada 1970-an Presiden Soeharto memanggil B.J Habibie pulang ke Indonesia. Beliau yang saat itu sudah menjabat sebagai Vice President perusahaan pesawat terbang Jerman, MBB, mendapat misi dari pak Harto untuk membangun kemandirian Iptek, ide awal dari B.J Habibie adalah bagaimana membangun ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bangsa tanpa harus memperlebar celah ketertinggalan iptek dari negara maju, bahkan untuk semakin memperkecil celah tersebut. Karena menurutnya, jika dimulai dengan cara yang konvensional yakni memulai dengan penelitian dan pengembangan, kita akan makin jauh tertinggal dengan negara-negara maju yang puluhan tahun lebih dulu di area penelitian dan pengembangan di berbagai bidang. Selain itu, faktor terpenting dari semuanya adalah mempertimbangkan kemampuan ekonomi bangsa.
Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat itu, agak sulit untuk mengimplementasikan sebuah pembangunan industri strategis pertahanan yang akan membebankan anggaran dan investasi yang besar. Kendatipun hal ini berhasil, akan membuat Indonesia memiliki posisi strategis dalam persaingan dengan industri pertahanan di tingkat global. Pilihan revolusioner ini dianggap sebagai jalan pintas paling tepat untuk kondisi Indonesia saat itu. Karena pada dasarnya, membangun industri pertahanan tidaklah sama dengan membangun industri komersial pada umumnya.
Dalam makalah pidatonya di Bonn, Jerman, pada 1983 berjudul Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Sedang Berkembang, ia juga memaparkan kajian tentang problem-problem pembangunan lainnya, termasuk jenis-jenis industri strategis yang dianggap sebagai solusi mengatasi problem-problem pembangunan tersebut. Menurutnya, bidang industri yang dianggap strategis saat itu adalah industri transportasi laut, udara, dan darat; industri energi; industri engineering/rekayasa dan desain; industri mesin dan peralatan pertanian; industri pertahanan, dan industri pekerjaan umum/teknik sipil. Semuanya itu akhirnya diwujudkan pemerintah dalam beberapa BUMN industri strategis.
Di luar industri-industri strategis tersebut, dibentuk suatu kawasan otoritas khusus untuk industri manufaktur maju yang akan menyaingi Singapura, yaitu Batam. Kemudian semua industri strategis tersebut ditetapkan sebagai wahana-wahana transformasi industri untuk penguasaan iptek dalam empat tahapan yang sistematis. Pertama, lisensi dan progressive manufacturing. Sasarannya, pengenalan dan penguasaan teknologi produksi/manufacturing yang maju untuk satu produk unggulan yang sudah ada di pasaran, contoh C-212. Kedua, technology integration, yakni dengan penguasaan teknik produksi yang maju, mencoba mengintegrasikan komponen-komponen teknologi yang sudah ada menjadi produk baru, contoh, CN-235. Ketiga, desain dan rancang bangun produk baru unggulan. Setelah penguasaan integrasi teknologi, yakni mencoba membangun produk yang sama sekali baru secara mandiri, misalnya N-250. Keempat, R&D, yakni setelah mampu membuat satu produk baru, melalui penelitian dan pengembangan, diharapkan dapat diciptakan penyempurnaan, inovasi, modifikasi, atau produk yang lebih maju untuk meraih dan mempertahankan keunggulan produk di pasaran internasional, contoh, N-2130. Tidak cukup hanya mendesain strategi transformasi industri untuk percepatan penguasaan Iptek industri, B.J Habibie juga mempersiapkan infrastruktur Iptek yang lengkap dan kokoh untuk R&D pengembangan sains dan teknologi yang lebih umum dan luas dari cakupan industri-industri strategis diatas. Disadari bahwa pembangunan SDM Iptek tidak hanya dihasilkan dengan mendidik SDM tersebut dari S1, S2, sampai S3. Tetapi juga melalui pelibatan SDM tersebut dalam proyek nyata (project oriented) atau penggodokan dalam industri. Maka para periset itupun selain melakukan riset di institusinya, juga terkadang dilibatkan dalam proyek-proyek yang ada di industri-industri strategis. Jadi memulai tahapan R&D (dari empat tahapan transformasi industri) tidak harus menunggu sampai tahap ke tiga selesai. Dapat berjalan paralel dari tahap pertama sekalipun, sehingga budaya riset yang unggul diharapkan sudah matang dan mapan saat tahap ke empat dimulai. 
Keunggulan lainnya, menghemat waktu alih teknologi jika dibandingkan cara konvensional yang memulai dengan R&D dulu. Untuk memayungi kegiatan Iptek secara hukum pun telah disahkan Undang-Undang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SISNASP3IPTEK). Bahkan sejak 1993 pengembangan Iptek berhasil masuk dalam bidang sendiri di GBHN (sekarang ini kata-kata Iptek sudah dihapuskan lagi dari GBHN). Bapak Habibie juga mendorong terbentuknya Akedemi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yaitu academy of science-nya Indonesia. Anggotanya terdiri dari ilmuwan-ilmuwan pakar terkemuka Indonesia. Harapannya ikut membantu merumuskan dan memantau arah pengembangan ilmu pengetahuan Indonesia. Meskipun akhirnya lembaga ini kurang terdengar gaung dan perannya. Diluar itu, B.J Habibie juga merangkul industri swasta nasional yang juga melakukan pendalaman penguasaan Iptek dengan cara yang mereka terapkan sendiri. Contohnya adalah Grup Texmaco, milik pengusaha keturunan India, Marimutu Sinivasan. Texmaco dengan strategi pendalaman industri yang lebih dikenal dengan “pohon industri” dengan penguasaan teknologi makin lama makin dalam dan bergerak dari hilir ke hulu. Yang awalnya sebagai industri tekstil,Texmaco mulai membangun industri logam, untuk membuat spare part dari mesin-mesin tekstil mereka yang rusak, dalam rangka substitusi impor. 
Sampai akhirnya Texmaco berani membuat mesin tekstil itu sendiri. Bahkan terus bergerak ke hulu dengan memproduksi mesin-mesin yang digunakan dalam pembuatan mesin tekstil itu sendiri, semisal mesin CNC. Setelah terjadinya krismon tahun 1997 dan lengsernya Habibie dari dunia politik, Warisan yang ditinggalkan Habibie sungguh suatu aset yang sangat berharga sebagai modal pembangunan Iptek ke depannya. Jika negara-negara jiran ingin mengejar Indonesia, tak akan mudah dilakukan hanya dengan menyiapkan sumber daya manusia-sumber daya manusia iptek dalam jumlah besar. Butuh infrastruktur Iptek yang lengkap dan kuat seperti yang sudah Indonesia punya dan juga strategi penguasaan Iptek yang jelas dan sistematis. Sedang Indonesia sudah punya semua itu, tinggal melanjutkan saja dan akselerasi mengingat ekonomi makro Indonesia makin baik dan stabilitas politik yang kian mapan. 
 Dalam konteks Industri pertahanan, hal itu bisa dilanjutkan dengan rencana pertahanan yang jelas secara jangka panjang, kemudian disinkronkan dengan kemampuan industri strategis nasional untuk menggapai level teknologi yang lebih tinggi. Salah satunya dengan cara Transfer of Technology (ToT) dalam pembuatan alutsista berteknologi tinggi dan unggul. Hingga suatu saat Indonesia bisa mandiri dengan mengandalkan industri pertahanan dalam negeri dan mempertahankan keunggulan teknologi yang dikuasai untuk dapat bersaing dengan teknologi-teknologi alpalhankam luar negeri. Efek deteren yang didapat akan berlipat ganda ketimbang hanya sebagai pembeli dan pemakai alpalhankam teknologi canggih paling mutakhir sekalipun. Sehingga kesimpulan inti dalam kepemimpinan bapak B.J Habibie selama masa kepemimpinannya berusaha untuk merintis membangun institusi lembaga penelitian, mengembangkan PT DI, dan membina sumber daya manusia yang jumlahnya ribuan, kurang dimanfaatkan. Akibatnya, setelah masa jabatan bapak Habibie selesai, banyak tenaga terdidik dari Indonesia kini dimanfaatkan negara lain, sementara yang ada di Indonesia kurang dimanfaatkan .