BAB 18 - ANALISIS MULTILEVEL
(Terjemahan dari Ezha Kurnia)
Spt kebanyakan organisasi militer yg terdiri dari
tingkatan hirarki. Dimulai dari tingkatan bawah, organisasi terdiri dari
prajurit perorangan, tim/regu, pleton, kompi, batalion, brigade, dan divisi.
Level satu menginduk ke yang lainnya, bersama membentuk organisasi militer.
Kebanyakan penelitian organisasi, termasuk penelitian
militer berfokus pada apa yg terjadi antara sampel pekerja yang termasuk unit
organisasipd level yg sama, pd kasus ini diterjemahkan menjadi prajurit yg
merupakan bagian regu atau pleton. Hubungan horizontal atau penelitian
unit-dalam, mengabaikan pengaruh kelakuan seseorang yg berakar dr lainnya –
‘pimpinan’ – level organisasi. Untuk mendapatkan pengertian mengenai apa yg
terjadi dlm organisasi yg kompleks dibutuhkan studi hubungan cross-level sbg tambahan pengaruh
level-dalam.
Studi yg dilakukan Schaubroeck dan asosiasi menguji
dampak kepemimpinan yg beretika dan berbudaya dalam tentara US, pada level
regu, pleton, dan kompi, pada kepemimpinan yg beretika para prajurit dari level
regu, pleton, dan kompi. Dasar teori dan praktek, mengasumsikan kepemimpinan yg
beretika dan berbudaya tdk hanya berpengaruh dlm tingkat hirarki yg sama, tp jg
lintas menuju ke bawah atau efek memotong, tdk secara langsung kepemimpinan
atas ke bawahyg beretika dan berbudaya atau melalui hubungan level-dalam.
Kelakuan prajurit yg beretika diukur via frekuensi
penerimaan pelanggaran hukum melawan non-kombatan (misal penganiayaan oleh
penonton atau penyebab kerusakan yg tdk perlu) dan melawan tentara (misal
pencurian) sama baiknya dengan mencontoh kelakuan teman sebaya dan moralnya.
Kepemimpinan yg beretika diukur oleh persepsi pd gaya kepemimpinan dlm mendiskusikan
isu etika.dan contoh penyetingan, dimana kebudayaan yg beretika diukur melalui
penelitian standar, untuk pencanangan hukuman, di dalam regu, pleton, atau
kompi. Untuk menaksir variabel ini, prajurit di masing2 tim meniali
kepemimpinan yg beretika dan berbudaya pada tempat kerjanya.
Data dikumpulkan dengan survei seksional-cross mengambil
2.048 prajurit US yg bergabung dlm operasi militer Irak pada tahun 2009.
Kuesioner dikumpulkan dan dikombinasikan dg berbagai rating menjadi informasi
sebanyak 172 regu (terdiri dari 4 anggota), 78 pleton (terdiri dari 2 regu),
dan 40 kompi (terdiri dari 4 pleton). Data digunakan untuk mengelaborasi tes
model multilevel.
Aplikasi
kuantitatif dan kualitatif
Bentuk dr analisis data multilevel atau pemodelan multilevel
mengarah kepada penaturan yg berhubungan dg analisis kuantitatif yg mengukur pd
dua atau lebih level analisis. Meskipun analisis kuantitatif sebagian besar ada
di area penelitian ini, studi kualitatif diakui sebagai suatu yg penting. Dlm
studi yg terkenal mengenai kecelakaan penembakan oleh US Black Hawks melewati
Irak
Utara, Snook (2000) yg tdk puas dg level individu (mgp
pilot F-15 slh mengidentifikasi Black Hawks, dlm tingkatan grup (mgp AWACS
gagal mengintervensi) atau pd tingkat organisasi (mgp tentara AU melepaskan
strategi penyerangan?). daripada hanya mendaftar penjelasan berlapis yg menarik
dan penting bagi diri mereka, Snook membangun teori yg menjelaskan kecelakaan
dlm mekanisme level-cross. Teori penympangan praktis menekankan pada kelambatan,
melepaskan ketenangan latihan dari cara penulisan, umumnya melalui keseluruhan
organisasi dan menuju kejadian tragis dalam militer yg kurang hebat dr apa yg
orang pikirkan.
Meskipun studi kualitatif multilevel terkesan keren,
sebagian besar penelitian multilevel dibangun dan diaplikasikan kpd penelitian
kuantitatif. Pemodelan multilevel memiliki berbagai pernyebutan spt model
hirarki, model campuran, model cluster, model kontekstual, dan model koefisien
acak. Model2 ini memperpanjang model linear tradisional yag mengambil data
tingkat perorangan yang digrupkan atau digabungkan ke dalam struktur lebih
atas. Pengukuran pd tgkt rendah dikenal sbg level mikro, dan semua level atas
disebut level makro (Kreft dan de Leeuw 1999). Dasar model linear level dua,
data level mikro atau level satu (spt prajurit) bersarang dlm level makro atau
unit level 2 (spt pleton), dan variabel dari kedua level analisis dimasukkan ke
dalam mode 1 (Bliese dan Jex 2002)
Pemodelan multilevel pd dasar plg rendah umumnya model
regresi linear yang koefisiennya ditunjukkan dlm bentuk ekuivalen algabra.
Angka tsb dimasukkan ke dlm persamaan yg berhubungan dg level-mikro dihasilkan
ke dalam variabel level-mikro sbg fungsi dr variabel level-makro. Kemungkinan
lain, model multilevel ditunjukkan dalam fungsi antara variabel mikro dan
makro. Bentuk kedua umumnya termasuk interaksi antara variabel level-mikro dan
level-makro, atau interaksi level-cross, yg didiskusikan di bawah ini (Diprete
dan Forristal 1994).
Beberapa bentuk berhubungan dengan variabel level yang
penting untuk dicatat pertimbangan pada analisis data mutilevel (Chan 2006).
Variabel global yang diukur adalah level natural mereka (Hox 2010). Sbg contoh,
prajurit tahunan dan jenis kelamin adalah variabel global pada tingkat
perorangan dan ukuran variabel global pada tingkat grup. Catatan bahwa variabel
diukur pada level yang diberikan dpt berpindah ke level atas melalui
pengumpulan data, dimana diperlukan grup level renah menjadi bentuk kecil dalam
unit yang lebih tinggi. Contoh, nilai moral prajurit dikumpulkan dg menghitung
rata2 nilai moral menjadi nilai unit moral. Sbg variabel baru yg dikumpulkan ke
level atas dari level bawah ditunjuk variabel analitis. Persamaan variabel bisa
dipindahkan dari level atas ke lebel bawah melalui pengurangan, dimana
diperlukan variabel yg dikurangi pada level atas menjadi byk bagian pada unit
terbawah. Sbg contoh, pengurangan ukuran pleton menjadi level prajurit, dimana
tiap prajurit dlm pleton ditempatkan dg nilai yg sama pd ukuran pleton. Kreasi
dr variabel ini menghasilkan pengurangan yg menyediakan informasi pada konteks
level atas (pleton) ke unit level rendah (prajurit) dan variabel yg dikurangi
ke level rendah dari level tinggi disebut variabel kontekstual (Chan 2006) Bgmnpun
penting utk dicatat bahwa variabel harus diselesaikan dg bijaksana dan pusat
konstruksi validitas. Detail framework menspesifikasikan hubungan fungsional
antara konstruksi pada level berbeda yang bisa digunakan untuk mengkomposisikan
variabel yg didiskusikan di Chan (1998).
Hubungan
Antar Level Analisis
Metode tradisional pada analisis data, seperti model
regresi ordinary least square (OLS), dg mencoba urk memasukkan kedua variabel individu
dan level-kontekstual yg tdk bs dimengerti oleh multilevel. Terutama,
pengelompokkan pengamatan level-individu dlm level-lebih tinggi atau unit
kontekstual melanggar asumsi kesalahan yg menuju kebiasan di kedua parameter
perkiraan dan standar eror (Bliese et al.2002). Tentunya, pengamatan tingkat perorangan
di dalam kelompok yg sama tdk benar2 mandiri karena ada beberapa kesamaan
mendasar hasil dari keanggotaan yg memimpin kemerdekaam antara pengamatan dan
kesalahan di dalam level kelompok yg sma (Fullerton et al. 2007).
Keuntungan signifikan dari pemodelan multilevel bahwa
kemerdekaan pengamatan tidak dibutuhkan, dan faktanya, kemerdekaan sering
mengganggu tiap level analisis (Tabachnick dan Fidell 2007). Sbg contoh, di
dalam rekrutmen tentara pada sesi pertempuran memengaruhi satu sama lain atau
dipengaruhi oleh pelatih, dan kemungkinan lebih sama drpd rekrutmen tentara
lain pada sesi peperangan. Persamaannya rekrutmen dalam pelatihan sekolah
tentara lebih sama daripada rekrutmen di sekolah yang berbeda. Sbg tambahan,
mgkn interaksi hirarki lintas level (atau interaksi cross-level, pada studi
ilustrasi dan diskusi di bawah). Sbg contohkarakter siswa di dalam sekolah
pelatihan tentara berinteraksi ramah dengan pelatih pada saat pelatihan.
Mengabaikan hirarki atau pengindukan data dan menganalisa jika tingkat yg sama
bisa membawa kepada interpretasi dan kesalahan statistik (Chan 2006; Dansereau
et al. 2006; Snijder and Bosker 1999).
Satu dari tipe utama kesalahan interpretasi adalah ecological
fallacy, mengacu kpd Robinson effect, dimana hubungan antar tingkat kelompok
adalah pemikiran untuk mengimplementasikan hubungan pada tingkat individu (Hox
2010). Contoh, jika data pada pelayanan militer (misal AD, AL, AU) digunakan
untuk membuat kesimpulan mengenai individu (misal tentara, prajurit, pilot).
Kelemahan utk mengakui perubahan dalam-kelompok adalah data bisa mengubah
hubungan di bawah pemeriksaan (Heck and Thomas 2009). Ecological fallacy bs
bernilai positif maupun negatif. Ecological fallacy bernilai positif terjadi
ketika hubungan pada tingkat kelompok (misal keluarga militer di kelompok
dimana Military Family Resource Centres/Pusat Sumber Daya Keluarga Militer
(MFRCs) menyediakan pelayanan yg besar) digunakan untuk membuat kesimpulan ttg
hubungan yg sama pd tingkat individu (misal keluarga militer yg lbh srg
menggunakan pelayanan MFRC lbh sehat). Negative ecological fallacy terjadi jika
kurangnya hubungan pada tingkat kelompok (misal tdk afa hubungan antara
proporsi prajurit di suatu unit yg menderita penyakit post traumatik stres dan
pengurangan taksiran unit) diterjemahkan ke dalam kesimpulan mengenai hubungan
pada tingkat individu. Pd kasus ini kelompok acak digunakan sbg analisis,
dimana hasil di tingkat rendah n (berdasarkan jumlah grup dibandingkan jumlah
individu di dalam tiap kelompok). Secara statistik, tipe analisis ini
meningkatkan standar kesalahan dan mengurangi kekuatan statistik, dan untuk itu
kemungkinan besar memasukkan kesalahan tipe II, atau kesalahan tdk menentu
untuk mengamati sebuah dampak yg sebenarnya terjadi (Chan 2006).
Tipe lain dari kesalahan interpretasi yg bs mengabaikan
hirarki data awal dengan atomistic fallacy, kadang ditunjukkan pada individuallistic
fallacy, dimana kesimpulan variabel tingkat kelompok menyimpulkan berdasarkan
data yg dikumpulkan pada level-individu. Sbg contoh, prajurit yg berindah
tempat lbh srg memiliki identitas prajurit lbh kuat (dibanding peacekeeper),
kepemimpinan di pleton yg berpindah lbh srg lebih kuat identitas prajuritnya.
Secara statistik, kesalahan tipe I (misal tdk menentu termasuk dampak yg ada
faktanya) analisa kinerja pd tingkat lbh rendah digunakan utk membuat
kesimpulan pada tingkat kelompok krn analisis berdasarkan pd banyaknya derajat
kebebasan yg tdk mandiri, dan kesalahan standar yg tdk menentu menghasilkan
perkiraan berlebih atas ketepatan parameter kepentingan (Heck and Thomas 2009).
Korelasi
Intra-Kelas
Seperti didiskusikan, dlm perjenjangan data induk sering
diasumsikan bahwa individu atau perorangan ataupun unit level satu dlm grup yg
sama atau level kedua unit lebih mirip satu sama lain dibandingkan perorangan
dalam level unit yg berbeda. Persamaan atau homogenitas individu dlm grup bisa
diukur dg menghitung korelasi antar kelas (Bliese et al. 2002). Menghitung
korelasi antar kelas pada tingkat skuad, pleton, dan kompi adalah langkah
pertama dlm menganalisis data pada dampak kepemimpinan yg beretika dan
berbudaya.
Area korelasi menunjukkan bahwa data pada level yg
bervariasi dapat menyatukan batas, level yg lebih tinggi (Schaubroek et al.
2012: 1063-1064). Korelasi
inter-kelas pada tingkat yg lebih tinggi menunjukkan perorangan di dalam
kelompok adalah homogen atau kelompok yg berbeda satu sama lain. Secara umum,
korelasi inter-kelas menandakan bahwa kelompok berbeda tipis satu sama lain. Korelasi
inter-kelas yang bernilai nihil mengartikan bahwa tidak ada grup yg berbeda yg memiliki
variabel ketertarikan, dan perorangan dalam grup yg sama berbeda satu sama lain
dengan perorangan pada grup yg berbeda. Jadi, bila korelasi inter-kelas nihil,
mengelompokkan data tidak memiliki konsekuensi untuk hubungan variabel kesamaan
dan bisa diabaikan untuk analisis berikutnya. Sebaliknya, jika ada korelasi
intra-kelas yg kuat atau penting, pemodelan korelasi intra-kelas memiliki
kesesuaian atau ketepatan dan membutuhkan induk data dlm akun dan akun akan
memberikan pengaruh guna memberikan pemahaman yg lbh baik dlm phenomenon of
interest (Kreft and de Leeuw 1999)
Sejak korelasi intra-kelas dapat menjadi suatu pemikiran
sbg ukuran dari derjat ketergantungan individu (Bliese 2000), keberadaan dari
korelasi intra-kelas mengindikasikan bahwa sebuah asumsi dari pengamatan
independen yg dpt digunakan dlm tekik analisa data yg tradisional dilanggar.
Lbh byk individu yg berbagi kesamaan pengalaman karena kedekatan jarak atau
waktu, persamaan atau dependen yg sama.
Interaksi-Lintas-Tingkatan
(Cross-Level Interaction)
Interaksi-lintas-tingkatan, sebagaimana
namanya, memerlukan analisis terhadap dampak interaksi antar level yang
berbeda, seperti interaksi antara level individu dan level grup. Ketika
terdapat interaksi semacam itu, pengaruh dari variabel level individu terhadap
hasil analisis data dapat tercukupi/terwakili oleh variabel pada level grup.
Sebagai tambahan, hubungan antara dua
variabel level individu terhadap hasil analisis data dapat tercukupi/terwakili
oleh variabel dari sebuah grup. (Karakteristik hubungan antara
variabel-variabel level individu dapat berbeda pada grup yang berbeda). Sebagai
contoh, penelitian terhadap pengaruh ‘pengerahan/penyebaran pasukan’
terhadap‘kualitaspenjagaan’ personil militer memunculkan hasil yang
bercampur-aduk (bermacam-macam).
Untuk menjelaskan hasil yg seperti ini,
sangat disarankan bahwa tipe penyebaran pada level grup dapat mewakili hubungan
antar variabel ini. Misalnya ‘penyebaran pasukan’ dapat meningkatkan ‘kualitas
penjagaan’ tiap-tiap individu dalam operasi yang tidak terlalu berbahaya.
Meskipun, ‘penyebaran pasukan’ juga dapat mengakibatkan turunnya ‘kualitas
penjagaan’ pada operasi yang lebih berbahaya. (Fricker, 2003 ; Wisecarver,
2006)
Dalam studi ilustratif tentang
kepemimpinan beretika, dapat terlihat bahwa akan muncul dampak yang lebih besar
pada budaya beretika di suatu unit jika kepemimpinan-level-tinggi di unit
tersebut juga beretika. Dan dampak yang sangat kecil/terbatas jika
kepemimpinan-level-tinggi nya tidak terlalu berorientasi kepada etika. Dampak/pengaruh
yang ditimbulkan dari tipe-tipe interaksi ini hanya bisa diuji menggunakan
model data struktur bertingkat, dan memperkirakan pengaruh-pengaruh
interaksi-lintas-tingkatan tersebut.
Hierarchical
Linear Modelling (HML)
Terdapat dua teknik umum dalam
menganalisa data multi-level, yakni HLM (Hierarchical
Linear Modelling) dan LVM (Latent
Variable Modelling). Untuk memahami HLM dibutuhkan pengetahuan dasar
tentang beberapa pendekatan. HLM mewakili mayoritas pendekatan multi-level yang
digunakan dalam penelitian bertingkat. HLM juga merupakan teknik analisis yang
digunakan pada studi ilustratif oleh Schaubroeck (2012) terhadap pengaruh kepemimpinan
beretika dan budaya di dalam dan lintas tingkatan.
HLM adalah pendekatan analisis data yang
sangat berguna dan populer. Ia mengidentifikasi dan membagi sumber-sumber data
yang berbeda pada variabel yang digunakan, dan lebih jauh lagi, ia menyediakan
permodelan variasi sumber data tersebut menggunakan analisis lintas tingkatan.
HLM merupakan sarana yang mumpuni untuk penilaian dampak dan interaksi lintas
level. Lebih spesifik lagi, permodelan multi-level mengamati dampak dari
level-grup yang potensial, yang bergantung pada observasi level-individu yang
bervariasi antar grup. Misal, variabel hasil : ‘nilai hasil latihan’ Dan
variabel kriteria : ‘nilai potensi bakat’
Sebagai contoh, hubungan variabel antara
‘nilai hasil latihan’ dan ‘nilai potensi bakat’ tentara dibiarkan bervariasi.
Variasi ini dimodelkan dengan menganggap rata-rata nilai grup dan penyebaran
nilai nya sebagai kriteria untuk penilaian variabel pada level di atasnya.
Kemudian kedua variabel ini akan dihubungkan dengan variabel pada level yang
lebih tinggi, misal ‘kepemimpinan ketua grup’.
Secara konseptual, HLM bisa dianggap
sebagai pendekatan dua level, dimana analisis pada level-1 mengandung penilaian
variabel hasil ‘nilai hasil latihan’ terhadap variabel kriteria ‘nilai potensi
bakat’ pada masing-masing grup.
Penilaian seperti ini dilakukan terhadap seluruh grup,
tanpa mengasumsikan hasil yang konsisten/serupa antar grup yang berbeda.
Analisis level-2 kemudian menilai
seberapa jauh kedua variabel di atas dapat diprediksi, kemudian menjadikannya
sebagai kriteria bagi variabel di level ini. Interaksi lintas tingkatan yang signifikan mengindikasikan bahwa
variabel pada level-grup dapat mewakili hubungan antara dua variabel pada
level-individu, karena variabel pada level-2 sangat mempengaruhi
variabl-variabel pada level di bawahnya.
Meskipun permodelan ini memiliki basis
dua level, namun pada perkembangannya ia juga dapat diterapkan pada kasus-kasus
multi-level, dengan tiga tingkatan atau lebih.
Studi
longitudinal : Analisis kurva pertumbuhan
Permodelan lintas-seksi multi-level
memeriksa data individu yang menginduk pada unit di atasnya. Dalam analisis
longitudinal, model multi-level memeriksa pola-pola variabel individu yang
terukur.
Meskipun data pada level terendah
biasanya bersifat pengukuran tunggal, dalam desain longitudinal data tersebut
diukur berkali-kali, dan hasil tersebut dinisbatkan kepada level-individu.
Dengan demikian, analisis longitudinal
lebih berfokus kepada perubahan data yang terjadi dalam beberapa pengukuran
terhadap satu individu. (Bliese, 2007; Han dan Andres, 2014).
Dalam kasus tersebut, yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana kecenderungan suatu kebiasaan pada
seseorang/individu memiliki kemiripan dengan kebiasaannya sebelumnya, kemudian
dibandingkan dengan kebiasaan orang/individu lain. (Kreft dan de Leeuw, 1999)
Karena ada analisis berbeda pada setiap
kasus di waktu yang berbeda, hal tersebut dapat dianalisis dengan kurva
pertumbuhan (Heck dan Thomas, 2009). Sebagai contoh, apakah ‘adaptasi’
anak-anak tentara akan berubah seiring dengan ‘perubahan penugasan’ pada orang
tuanya? Jika iya, adakah variabel lain seperti ‘dukungan keluarga’ atau
‘pelayanan militer keluarga’ yang dapat membantu memprediksi
perubahan-perubahan tersebut?
Pertimbangan dalam Pemodelan Multilevel
Peran
petunjuk teoritis dan pemilihan prediksi
Pemberian bahwa tujuan utama
analisis data multilevel adalah untuk mempertimbangkan pemrediksi di analisis
level berbeda, korelasi antara pemrediksi di semua analisis level
dipertimbangkan bersama dan diatur satu dengan yang lain. Sebagai hasilnya, hal
itu menjadi lebih seperti tidak ada hubungan koefisien regresi dengan
pemrediksi-pemrediksi ini akan menjadi signifikan secara statistik. Dengan
demikian hal itu merupakan kunci penting untuk memilih angka yang tepat dan
kombinasi pemrediksi untuk memaksimalkan penggunaan analisis dalam menjelaskan
ketertarikan pada fenomena. Faktanya, hal ini disarankan bahwa hanya pemrediksi
sebuah angka kecil yang dipilih dan lebih jauh, bahwa pemrediksi ini secara relative
tidak berhubungan satu sama lain (Tabachnick and Fidell, 2007). Tentu saja,
teori yang kuat dan konsep yang rasional sebaiknya digunakan dalam pemelihan
pemrediksi, dan akan menolong dalam memilih angka terbatas yang dapat
mengoptimalkan penjelasan dari ketertarikan pada fenomena.
Hanya pemrediksi relevan yang secara
teoritis termasuk dalam model dan dapat digunakan untuk permulaan.Dengan
mengikuti hal ini, pemrediksi bisa ditambahkan dengan tujuan untuk kepentingan,
dan pemrediksi-pemrediksi tersebut tidak dapat memperbaiki prediksi dari
ketertarikan fenomena yang didapat dari analisis (meski pemrediksi menambahkan
secara makna untuk interaksi antar level (cross-level interaction) (Raudenbush
dan Bryk 2001).Jika ada banyak angka dari pemrediksi potensial, pertama-tama
hal itu harus discreening (disaring) menggunakan teknik simple modeling,
seperti linear regresi, untuk mengeliminasi pemrediksi-pemrediksi yang tidak
memberikan kontribusi untuk menjelaskan ketertarikan fenomena dari
awal.Selanjutnya, apabila sampel cukup besar, hal tersebut disarankan bahwa
analisis tipe eksploratori divalidasi silang menggunakan
sebagian sampel untuk membangun model, dan sebagianyang lainnya untuk validasi
silang. Hal ini akan mengecilkan derajat yang mana eksploratori teknik
pembangunan model ini dipengaruhi oleh kesempatan (Tabachnick and Fidell,
2007).
Asumsi statistik dan pembatasan yang
menyinggung teknik analisis data tradisional secara umum diaplikasikan dalam
teknik multilevel analisis data yang baik (Castro, 2002).Sebagai contoh,
pembersihan data pendahuluan dan analisis-analisis membutuhkan taksiran
kecocokan dengan asumsi distribusi sebaik skema.
Secara ideal, hal ini
direkomendasikan bahwa screening (penyaringan/filterisasi) dari pemrediksi
level bawah sebaiknya dilakukan dengan masing-masing unit level tinggi.
Meskipun demikian, hal ini tidak dapat dijalankan, khususnya saat jumlah unit
level tinggi tersebut besar. Seperti
dalam kasus unit level rendah dikombinasikan degan unit level tinggi. Demikian
juga, pemrediksi level kedua sebaiknya diperiksa dengan pemrediksi level ketiga
jika memungkinkan, atau pemrediksi-pemrediksi tersebut boleh diagregatkan
melewati pemrediksi level ketiga (Tabachnick and Fidell, 2007).
Dengan sifat yang demikian, model multilevel
secara umum lebih kompleks daripada model tradisional, karena memerlukan
perhitungan sebuat angkat lebih besar dari persamaan di berbagai analisis
variasi level.Seperti yang telah didiskusikan, tambahan pada efek ketertarikan
pada setiap level, efek parameter, termasuk intercept (pemotongan) dan slope
(kecondongan), juga merupakan ketertarikan dalam setiap level. Sebagai contoh,
tipe-tipe model ini secara umum mengharuskan ukuran sampel lebih besar pada
setiap level untuk meniadakan ketidakstabilan yang sudah melekat dalam model
model tersebut (Chan 2006). Studi ilustratif didasarkan pada sampel 2.048
tentara yang dibutuhkan utnuk membangun model multilevel yang terdiri dari
kasus yang lebih sedikiti pada setiap level
berikutnya, seperti tim / regu, kemudian
pleton, dan terakhir kompi.
Sepeti dalam kebanyakan analisis,
kekuatan meningkatkan ukuran sampel, lebih besar ukuran efek, dan standar eror
lebih kecil. Meskipun demikian, ada beberapa isu yang lebih kompleks terkait
kekuatan dalam tipe analisis ini yang menyinggung untuk memiliki efek pada
analisis level yang berbeda. Sebagai contoh, hal tersebut telah ditunjukkan
bahwa kekuatan tumbuh dengan ukuran dari korelasi intra-class (contohnya
perbedaan antara grup relatif perbedaan-perbedaan dalam grup seperti yang telah
didiskusikan di atas), terutama untuk tes efek level tinggi dan interakasi
cross-level. Secara umum hal ini telah didemonstrasikan bahwa kekuata lebih
besar dengan angka yang lebih besar dalam grup (atau unit level kedua) daripada
jalan lainnya, tetapi bahwa kekuatan meningkat dengan sampel yang lebih banyak
ukuran pada kedua level (Tabachnick and
Fidell, 2007).
Batasan dan Catatan Peringatan
Meskipun analisis multilevel data
menyediakan metode canggih untuk fenomena analisis kompleks dan pertimbangan
pengaruh pemrekdiksi pada analisis level yang berbeda, hal tersebut penting
untuk mengenal pertukaran antara penggunaan model tipe ini seperti yang
dibandingkan untuk lebih ke pendekatan tradisional. Satu hal point penting yang
utama untuk pertimbangan adalah meskipun model multilevel memungkinkan hasil
penjelasan yang lebih realistis dari fenomena kehidupan nyata, model tipe-tipe
ini secara umum lebih kompleks, dan dengan demikian tidak selalu merupakan
pendekatan yang paling baik.Sebagai catatan, analisis multilevel data biasanya
menghasilkan model statistic yang lebih kompleks dimana secara umum lebih sulit
untuk diinterpretasikan daripada model yang lebih sederhana.
Selanjutnya, hasil dari model
kompleks biasanya lebih sulit untuk direplikasi melewati sampel dan melaluti
studi yang berbeda. Hal ini karena model kompleks lebih sensitif untuk mengubah
apa yang menjadi sebuah sistem yang lebih kompleks, yang mana memerlukan sebuat
angka yang lebih besar dari variabel penjelasan, yang diukur di hirarki
multiple level, yang mana dipimpin untuk ketidakstabilan dalam estimasi
parameter across-model yang berbeda dalam jalan kecil (minor way)(Kreft dan de
Leeuw 1999). Paling sedikit, tipe-tipe model ini tidak secara umum
direkomendasikan untuk analisisi penyelidikan data atau modifikasi yang luas
untuk meningkatkan kecocokan model )(Kreft dan de Leeuw 1999).
Selain itu, hal ini penting untuk
membayar perhatian pada unit level tinggi dan tidak untuk membingungkan angka
unit level tinggi dengan ukuran total studi sampel atau total jumlah observasi
level rendah. Meskipun kekuatan statistik dari tes signifikansi dari estimasi
level rendah bergantung dari ukuran total sampel level rendah, kekuatan
statistic dari estimasi untuk setimasi level tinggi dan interakti cross-level
didasarkan pada jumlah dari unit level tinggi. Karena HLM (Hierarchical Linear
Modelling) dan teknik multilevel lainnya menganggap ukuran sampel yang besar
penting untuk memastikan jumlah cukup dari grup untuk tes dengan baik dan
menginterpretasikan efek-efek dari analisis multilevel (Castro, 2002; Chan
2006).
Akhirnya, meskipun model multilevel
sangat fleksibel dan memperbolehkan untuk pengetesan sebuah jenis hypothesis
mengenai variabel dan hubungan pada level multiple, sebaik hubungan cross-level
yang bervariasi, kefleksibilitasan ini juga membuat lebih mudah menyerang pada
penyalahgunaan hasil yang menyesatkan atau kesimpulan yang salah (Chan, 2006),
seperti ekologi buah pikiran yang keliru dan buah pikiran keliru atomistis seperti
yang didiskusikan di atas.
Kesimpulan
Penelitian militer penuh dengan
fenomena multilevel, atau hirarki, dalam sifat.Contohnya, penelitian militer
tertarik dalam memahami individu (atau unit mikro level lainnya dengan
lingkungan sosialnya atau hubungan organisasi. Individu-individu dengan grup
level tinggi atau hubungan sering berbagi kekayaan umum atau
karakteristik-karakteristik atau persoalan pengalaman umum. Dengan cara yang
sama, kekayaan atau grup atau hubungan dapat juga dipengaruhi oleh individu-individu
yang ada di dalamnya. Hal ini jelas bahwa analisis multilevel tidak hanya
berguna, namun dalam fakta sering digunakan sebagai sebuah pendekatan yang
diperlukan untuk penelitian militer, memungkinan peneliti-peneliti untuk
memahami fenomena-fenomena di bawah investigasi lebih akurat dan lebih lengkap.