A. Latar Belakang
Pertahanan negara merupakan salah satu aspek penting untuk menjamin eksistensi dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pertahanan negara yang kokoh akan mampu mewujudkan bangsa yang kuat. Masalah pertahanan yang berhubungan dengan upaya menghadapi ancaman dari luar masih tetap penting tidak kalah penting dengan permasalahan ekonomi. Setiap negara di dunia terus-menerus meningkatkan pertahanan negaranya,baik dengan pendekatan militer maupun non militer.
Pada tahun 2006 ditingkatkan dengan kerjasama mitra strategis dibidang politik, pertahanan dan keamananyang dikenal sebagai Joint Declaration between the Republic of Indonesia and the Republic of Korea on Strategic Partnership to Promote Friendship and Cooperation in the 21th century. Setelah itu, kerjasama diberbagai bidang terus diberlakukan baik tataran pemerintah, parlemen, pebisnis dan juga masyrakat ditengah-tengah dinamika tantangan global yang semakin kompleks.
Hubungan bilateral Indonesia dan Korea Selatan berpotensi untuk melengkapi satu sama lain. Hal ini tercermin dari masing-masing negara yang membutuhkan negara lainnya untuk melengkapi kebutuhan dalam negerinya. Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah. Namun Indonesia relatif tertinggal dari aspek sumber dayaalam, teknologi, serta investasi yang masih sangat minim. Sedangkan Korea Selatan membutuhkan pasar yang besar untuk memasarkan teknologi dan juga investasinya.
Sejak Deklarasi Kemitraan Strategis, penekanan pada bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi sering kali disampaikan oleh kedua negara dalam berbagai pertemuan. Sebagai contoh melalui Joint Commission Meeting (JCM) oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Korea Selatan pada 18 Desember 2015. Pada pertemuan tersebut Indonesia menekankan perlunya memperkuat kerja sama di berbagai bidang terutama perdagangan, investasi, pariwisata, dan people to people contact.
Pada tahun 2010, Indonesia memperoleh ajakan pemerintah Korea Selatan (Korsel) untuk bekerja sama dalam pembuatan pesawat tempur yang mempunyai rentang spesifikasi teknis di antara generasi 4 dan 5. Proyek pesawat tempur tersebut yang dinamakan dengan Indonesian Fighter Experiment/Korean Fighter Experiment (KFX/IFX).Kerja sama ini dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu Technology Development Phase (TDP), Engineering and Manufacturing Development Phase (EMDP),dan Production Development Phase (PDP). Pada perkembangannya, TDP dibentuk pada tahun 2010 dan selesai pada Desember 2012. Setelah TDP dilaksanakan, pelaksanaan EMDP ditunda hingga tahun 2014. Penundaan tersebut disampaikan oleh parlemen Korsel melalui Defense Acquisition Program Administration (DAPA). Penundaan tersebut berakhir pada September 2014. Pada bulan Juli 2014, kesepakatan pelaksanaan EMDP dapat tercapai dan direncanakan akan dimulai pada akhir tahun 2015.
Idealnya, negara-negara yang terlibat dalam kerja sama internasional memiliki motivasi biaya (cost) (Hartley & Braddon 2014). Selain itu, transfer teknologi, spin off atau teknologi militer dapat digunakan sebagai teknologi sipil, multiplier effect (efek pengganda) terhadap perekonomian, dan proyeksi akan pengembangan industri pertahanan merupakan manfaat-manfaat yang dapat diperoleh suatu negara dalam kerja sama industri pertahanan.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana Hubungan Kerjasama Pertahanan Indonesia dan Korea Selatan?
2. Bagaimana Kerjasama Ekonomi Pertahanan Indonesia dan Korea Selatan?
C. Teori yang Digunakan
1. Perpspektif Liberalisme
Liberalisme, dijelaskan oleh Mansbach dan Rafferty (2008;26), mempercayai bahwa dalam aspek politik, aktor dapat mendapatkan untung bersama atau mendapat kerugian bersama yang dikenal dengan variable-sum game. Kelompok liberalisme juga menekankan pemenuhan aktor atas keuntungan absolutnya (absolute gains), yaitu kondisi di mana semua aktor mendapatkan keuntungan dari suatu hubungan internasional (Mansbach dan Rafferty, 2008; 26). Penjelasakan lainnya dari varian dari liberalisme, yaitu neoliberalisme, bahwa setiap aktor saling bergantung dengan aktor yang lainnya dalam hal mempertahankan keberlangsungannya dan juga memiliki takdir yang dibagi bersama (Mansbach dan Rafferty, 2008; 27).
Menurut Mansbach dan Rafferty (2008; 27), kondisi saling ketergantungan ini yang menyebabkan aktor untuk melakukan kerjasama dalam mencapai tujuannya. Dunne (2001; 176) juga memperkuat pernyataan tersebut dengan menyebutkan motivasi dari negara melakukan kerjasama adalah karena “absolute gains” yang didapat ketimbang melihat “relative gains” yang didapat oleh pihak lain. Sehingga dari pernyataan-pernyataan di atas dapat dilihat bahwa kerjasama dalam suatu hubungan internasional lebih dilihat sebagai pertemuan keuntungan yang akan didapat oleh kedua aktor.
Pendapat lain mengenai teori liberalisme juga dikemukakan oleh Jackson dan Sorensen (2009; 139) bahwa terdapat tiga asumsi dasar. Pertama, liberalisme memandang positif terhadap sifat manusia. Kedua, liberalisme yakin bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual. Ketiga, liberalisme percaya pada kemajuan.Pada asumsi ketiga, kaum liberal percaya bahwa kemajuan yang dimaksud adalah kemajuan di banyak bidang kehidupan (Jackson dan Sorensen, 2009; 143). Salah satu cara untuk mencapai kemajuan tersebut adalah pada asumsi kedua, yaitu kerjasama. Ketiga asumsi ini memberikan dukungan pada penjelasan mengenai teori liberalisme yang dipaparkan oleh Mansbach dan Rafferty. Sehingga teori liberalisme dirasakan peneliti dapat menjadi salah satu rujukan teoritis dalam melakukan analisa mengenai kasus kerjasama pembangunan Uni Eropa dan Indonesia.
2. Kerjasama dalam Hubungan Internasional
Liberalisme sudah menyebutkan salah satu konsep yang menjadi kuncinya, yaitu adanya kerjasama. Setidaknya terdapat tiga definisi konsep kerjasama dalam Hubungan Internasional yang dapat peneliti sampaikan. Pendapat pertama dikemukakan oleh Keohane, dalam Clackson (http://www.e-ir. info/2011/02/01/conflict-and-cooperationin-international-relations/, diakses pada tanggal 22 Mei 2014), yang mendefinisikan kerjasama sebagai kondisi “when actors adjust their behaviour to the actual or anticipated preferences of others, through a process of policy coordination”. Pendapat kedua datang dari Clackson (http://www.eir.info/2011/02/01/conflict-and-cooperationin-international-relations/, diakses pada tanggal 28 2017) yang menjelaskan bahwa kerjasama “basically should lead to rewards for all states, not necessarily equal rewards, but everyone should benefit”. Sedangkan pendapat ketiga peneliti kutip dari Milner (1992; 467) yang menjelaskan kerjasama sebagai “goal-seeking behaviour that strives to reduce the gains available to others or to impede their want-satisfaction”.
Dari ketiga pendapat di atas dapat dilihat beberapa ciri dari kerjasama, yaitu setidaknya terdapat dua pihak, ada penyesuaian tujuan terhadap kemampuan pihak yang lain, dan ada keuntungan yang didapat oleh semua pihak. Konsep ini akan digunakan untuk memberikan gambaran fenomena kerjasama pembangunan yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Indonesia. Konsep kerjasama tersebut juga mendukung penjelasan teoritis dari teori liberalisme yang telah disampaikan sebelumnya.
3. Pertahanan Negara dan Pertahanan Nasional
Menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 2002, Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Pertahanan Nasional didefinisikan sebagai “Segala usaha untuk mencegah dan menangkis lawan, melindungi dan membela kepentingan nasional terhadap segala bentuk paksaan dengan kekerasan dan serangan dari pihak lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
4. Ekonomi Pertahanan
Ekonomi pertahanan merupakan suatu studi terhadap alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilisisasi yang diaplikasikan pada topik-topik yang berhubungan dengan pertahanan. Termasuk di dalamnya pengeluaran-pengeluaran pertahanan, baik domestik maupun internasional, serta variabel-variabel ekonomi makro seperti tenaga kerja, output, dan pertumbuhan. Cakupan lain adalah dimensi ekonomi mikro, misalnya analisa dari industri dasar pertahanan, program-program kolaboratif, pergeseran, serta pembentukan harga dan keuntungan dari kontrak militer.
Ekonomi pertahanan berasal dari dua kata penting yang memiliki pengertian masing-masing yaitu ekonomi dan pertahanan. Terdapat perbedaan konsep yang menonjol antara ekonomi dan pertahanan. Perbedaan utama terletak pada watak dari kedua konsep tersebut yaitu, ekonomi mengutamakan “kedaulatan terletak pada kebutuhan manusia yang tidak terbatas”, sedangkan watak pertahanan adalah “kedaulatan ada di tangan negara”. Hal ini memberikan suatu konsekuensi : “Jika disepakati untuk menghilangkan kegiatan ekonomi berarti menegasikan hakikat manusia, dan jika menghilangkan kegiatan pertahanan berarti menafikan kehadiran negara”. Karena itu perlu menghubungkan kedua watak yang berbeda itu sehingga keduanya berhubungan erat dan saling melengkapi.
Untuk melihat ekonomi dan pertahanan perlu dilihat konsep masing-masing dimana keduanya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan suatu negara dapat ditingkatkan melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun pemerintah akan dapat melaksanakan berbagai program yang dapat merangsang pertumbuhan apabila kondisi negara dalam keadaan aman. Dengan demikian untuk meningkatkan kesejahteraan, pemerintah juga berkewajiban untuk mewujudkan keamanan nasional. Keamanan nasional merupakan suatu kondisi atau keadaan yang menggambarkan terbebasnya negara, masyarakat dan warga negara dari segala bentuk ancaman dan atau tindakan, baik yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Keamanan nasional juga bisa diartikan sebagai kebutuhan untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi negara melalui kekuatan ekonomi, militer dan politik serta pengembangan diplomasi. (Sekretariat Jendral Dewan Ketahanan Nasional).
Dengan demikian pembangunan yang dilaksanakan juga harus dapat menciptakan rasa aman dan nyaman di antara para individu maupun kelompok dalam menjalankan kegiatannya agar mereka dapat meningkatkan utilitasnya secara maksimal. Untuk menciptakan rasa aman tersebut perlu pertahanan untuk mengeliminir ancaman yang dihadapi suatu negara. Perlindungan negara yang diberikan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah diartikan sebagai perlindungan keamanan kepada segenap warga negara dan semua wilayah beserta seluruh sumber daya yang ada di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Dinamika Hubungan Indonesia Korea Selatan
Indonesia dan Korea Selatan telah membangun hubungan diplomatik sejak tahun 1973 yang terkait dalam sebuah koneksi yang saling menguntungkan. Kedua negara terus berupaya mengembangkan hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan baik secara bilateral, maupun dalam kerangka kerja sama regional dan multilateral. Sejumlah kerja sama ekonomi dikembangkan oleh kedua negara, antara lain keinginan memperluas Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dan memenuhi persyaratan FTA Korea Selatan dan negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk menciptakan lingkungan yang ramah investasi dan bisnis. Kedua negara juga saling mendukung di bidang politik luar negeri dan keamanan dunia. Pengembangan kerja sama di bidang industri kreatif, maritim, dan lingkungan juga menjadi perhatian kedua negara.
Hubungan dan kerja sama kedua negara telah memasuki babak baru. Pada 4 Desember 2006, kedua negara menyepakati Joint Declaration on Strategic Partnership to Promote Friendship and Cooperation between Republic of Indonesia and the Republic of Korea di Jakarta. Deklarasi Bersama itu ditandatangani oleh Kepala Negara kedua negara saat itu yaitu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Roh Moo Hyun. Kerja sama politik dan keamanan; kerja sama ekonomi, perdagangan dan investasi; dan kerja sama sosial budaya, merupakan tiga pilar utama kemitraan strategis yang disepakati saat itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, upaya kedua negara memperkuat hubungan dan kerja sama terus ditingkatkan. Presiden Korea Selatan Park Geun-hye dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Jokowi pada 11 Desember 2014 di Busan, menyampaikan bahwa Indonesia adalah mitra penting kerja sama dan mitra dagang kunci bagi Korea Selatan. Tidak hanya membangun kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan, kedua negara juga telah memperdalam kemitraan strategis bilateral dengan membangun kerja sama aktif pada industri pertahanan. Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin berharap kerja sama bilateral akan terus berkembang, dan bersepakat untuk: pertama, menghidupkan kembali JCM pada tingkat Menlu kedua negara. Dengan adanya mekanisme JCM ini maka akan lebih mudah bagi kedua negara untuk memantau perkembangan kerja sama dan menindaklanjuti kesepakatan yang disetujui pada tingkat Leader; kedua, untuk meningkatkan kerja sama industri pertahanan, terutama transfer pengetahuan dan teknologi terkait dengan pembangunan bersama kapal selam dan pesawat tempur yang telah berjalan; ketiga, Korea Selatan menyatakan komitmennya untuk berpartisipasi dalam pembangunan Kesatuan Penjaga Pantai dan galangan kapal di Indonesia; keempat, kedua Pemimpin menyambut baik penandatanganan Persetujuan Pembentukan Komite Bersama di bidang e-Government dan reformasi birokrasi; dan kelima, Presiden RI mendukung penuh upaya menciptakan perdamaian dan stabilitas pada tingkat kawasan dan global, termasuk di Semenanjung Korea.
Pada perkembangannya, Korea Selatan terus mengukuhkan posisinya sebagai mitra kerja sama strategis bagi Indonesia. Pada tahun 2016, Korea Selatan merupakan mitra dagang terbesar ke-6 dan negara penyumbang investasi asing ke-9 terbesar bagi Indonesia. Indonesia merupakan negara mitra perdagangan utama, negara tujuan investasi dan mitra utama Korea Selatan di ASEAN, khususnya. Tahun 2016 merupakan tahun ke-10 semenjak kedua negara menjalin hubungan kemitraan strategis. Saat ini, Korea Selatan menduduki peringkat 3 untuk realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia selama 2012-2016. Berdasarkan data BKPM, investasi dari Korea Selatan selama lima tahun terakhir periode 2012-2016 mencapai USD7,5 miliar yang terdiri atas 7.607 proyek. Jumlah investasi tersebut membuat Korea Selatan berada di posisi ketiga sebagai negara dengan nilai investasi tertinggi di Indonesia. Korea Selatan berada di bawah Singapura (USD30,4 miliar) dan Jepang (USD18 miliar) serta di atas Malaysia (USD7,2 miliar) dan Amerika Serikat (USD7 miliar).
B. Pertahanan sebagai Barang Publik
Bapak Ekonomi yang mengawali pendapat bahwa pertahanan merupakan salah satu tugas negara adalah Adam Smith. Smith sesungguhnya tidak pernah menolak secara mutlak peran dan campur tangan pemerintah, melainkan hanya dikurangi sampai tingkat minimal. Dalam pandangannya, seperti yang dituliskan pada bukunya "Wealth of Nation", fungsi minimal pemerintah dibatasi hanya pada tiga tugas pokok, sedangkan tugas-tugas di luar itu dianggap akan merugikan pasar. Ketiga tugas pokok tersebut adalah pertahanan keamanan, penegakkan keadilan, dan pelaksanaan pekerjaan pranata-pranata umum.
Menurut Adam Smith tugas melindungi masyarakat perlu dilakukan oleh kekuatan pertahanan yang merupakan kewajiban pertama dari negara. Perlindungan dari pemerintah yang baik akan berperan dalam mengharmonisasi konflik antara kepentingan swasta dan sosial, pencegahan terhadap eksploitasi oleh asing, dan merangsang peningkatan investasi yang produktif. Keamanan ini ditransformasikan menjadi barang publik yang wajib disiapkan oleh negara secara impersonal dan tak dapat di-privat-kan atau dibiarkan dikelola sendiri oleh masyarakat, dan merupakan hak setiap warga negara untuk menikmatinya.
Dengan demikian pertahanan merupakan suatu produk berupa publik yang harus diusahakan keberadaannya sebagai tugas negara. Jenis barang ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi tidak seorangpun yang bersedia menghasilkannya, walaupun mungkin saja dihasilkan oleh pihak swasta, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Namun kegunaan barang publik ini adalah untuk seluruh warga negara tanpa terkecuali dan tidak satu orangpun dapat dikeluarkan atau dikecualikan dalam memanfaatkannya.
Konsekuensi pertahanan sebagai barang publik ini adalah kerumitan dalam melakukan analisa dibandingkan barang privat dimana mekanisme pembentukan harganya sanagt jelas di pasar. Karena itu peninjauan dan analisa pertahanan sebagai barang publik biasanya dilihat dari efek yang diakibatkannya kepada sektor-sektor ekonomi lainnya. Hal ini sering disebut eksternalitas. Dengan demikian pertahanan bukan hanya berperilaku sebagai fungsi protektif dari negara untuk mewujudkan keamanan dan pertahanan nasional, tetapi juga sebagai fungsi produktif, karena juga harus berdampak pada perekonomian dalam suatu negara.
C. Isu-isu Ekonomi Pertahanan
Isu-isu pertahanan yang relevan dalam ekonomi pertahanan diantaranya adalah efek dari pengeluaran pertahanan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, dampak dari kebijakan industri pada sektor pertahanan dan sebaliknya, implikasi dari konversi sumber daya manusia, studi akan konflik dan pengrusakan, kebijakan implikasi dari alokasi wilayah dengan atau tanpa senjata, analisa aliansi, dampak dan disain kontrak dalam efisiensi pengadaan, studi mengenai perlombaan persenjataan dan stabilitas, serta analisa terhadap aturan-aturan perdagangan senjata.
D. Studi Kasus : Ekonomi Politik Kerja Sama Korea Selatan – Indonesia dalam Joint Development Pesawat Tempur KFX/IFX
Ekonomi Kolaborasi dalam Proses Akuisisi Pertahanan
Untuk mengetahui secara sistematis proses dari terbentuknya persepsi ancaman hingga dilakukannya proses pengadaan/akuisisi, Kaldor (1986) menggunakan prinsip permintaan-penawaran yang ada dalam ilmu ekonomi dan ilmu politik. Menurut Kaldor (1986, 577-579) dalam akusisi pertahanan terdapat unsur permintaan (demand) dan penawaran (supply). Agar akuisisi pertahanan terjadi, kedua unsur/aspek tersebut harus bertemu. Bertemunya kedua unsur tersebut dapat terjadi apabila terdapat mekanisme mandat (proxy mechanism) yang dapat berupa perang ataupun peran sistemik di kancah internasional (Kaldor 1986, 579 dan 596). Sebagai contoh dalam kondisi perang, akusisi pertahanan otomatis akan dilakukan karena memang kebutuhan untuk menyerang musuh. Dengan kata lain permintaan dan penawaran terjadi karena adanya justifikasi peperangan. Di masa damai, posisi suatu negara dalam kancah internasional mempengaruhi dan menentukan mekanisme mandat tersebut.
James Buchanan berpandangan bahwa negara (dengan dinamika politik di dalamnya) merupakan sumber dari inefisiensi (Hindmoor dalam Hay, et al, 2006, 79-80). Politik dianggap sebagai salah satu faktor kegagalan dalam menciptakan efisiensi (the science of political failure). Hal ini karena pertimbangan pemilihan rekanan tidak didasarkan sepenuhnya pada keunggulan komparatif dan kompetitif serta kriteria-kriteria ekonomis yang objektif. Hal ini justru semakin menunjukkan bahwa faktor politik tidak dapat dikesampingkan meskipun faktor biaya merupakan faktor utama bagi suatu negara untuk mengadakan kerja sama dengan negara lain, khususnya dalam akusisi persenjataan yang sangat mahal harganya jika dibanding dengan produk-produk lain (Hartley & Braddon, 2014, 535).
Dari kontradiksi tersebut, lahir perspektif ekonomi politik yang mengungkap bahwa akan terjadi Military-Industrial Complex (MIC) dalam suatu kolaborasi. MIC ini yang menjadi gambaran bahwa suatu kolaborasi tidak akan luput dari analisis terhadap faktor-faktor politik, meski secara ideal public choice seharusnya dilandasi oleh pertimbangan atau preferensi efektivitas biaya. MIC merupakan istilah yang diambil dari istilah yang dicetuskan pada tahun 1961 oleh Presiden Amerika Serikat ke-34, Eisenhower, merujuk pada hubungan ekonomi politik yang terjadi antara legislator, angkatan bersenjata nasional, dan industri persenjataan. Hubungan tersebut terkait pada kontribusi politik, persetujuan politik akan belanja militer, lobi-lobi untuk mendukung birokrasi, dan industri (Higgs 1995, 5). Ketiga badan tersebut, yang pada saat ini lebih sering disebut kongres/parlemen, departemen pertahanan, dan industri pertahanan, kemudian disebut sebagai segitiga besi pertahanan (Defense Iron Triangle (DIT)).
Segitiga besi pertahanan merupakan bentuk relasi strategis yang membentuk MIC. Disebut kompleks, karena merujuk pada rumitnya relasi tersebut. Kerumitan yang dimaksud adalah berkaitan dengan seberapa jauh ketiga pihak tersebut membagi proporsi perannya. Jika negara (parlemen dan departmen pertahanan) lebih banyak berpengaruh, maka kedaulatan dan kemandirian lebih ditekankan. Jika industri pertahanan lebih besar perannya, maka aliansi dan kerja sama serta privatisasi (komersialisasi) akan memainkan peranan lebih besar. Meskipun disebut sebagai the unholy trinity (trinitas yang tidak suci) dalam pertahanan (karena peperangan antar negara akan dipengaruhi oleh relasi antara ketiga pihak tersebut), segitiga besi pertahanan penting dalam mewujudkan sebuah akusisi pertahanan, apalagi diahadapkan pada keterlibatan negara lain (Matthews & Maharani dalam Bitzinger 2009, 38-41).
Sejarah Proyek KFX/IFX
Kesepakatan kerja sama antara Korea Selatan dan Indonesia dibentuk dengan berlandaskan hubungan diplomatik yang telah terjalin sejak 17 September 1973. Namun kerja sama komprehensif baru disepakati pada Desember 2006, dimana Kepala Negara Indonesia dan Korea Selatan menandatangani sebuah perjanjian Kemitraan Strategis; Joint Declaration on Strategic Partnership to Promote Friendship and Cooperation in the 21st Century. Isi dari kesepakatan tersebut adalah dibentuknya The Eminent Persons Group (EPG) yang berisi kerja sama di bidang perdagangan dan investasi; kehutanan; nuclear power plant; teknologi industri kecil dan menengah; antikorupsi; pertahanan dan keamanan; pusat kebudayaan; dan pariwisata.
Atas dasar klausul inilah Indonesia menerima ajakan Korea Selatan untuk mengembangkan secara bersama Proyek Boramae untuk mengembangkan Fighter Experiment. Purnomo melihat bahwa Korea Selatan bersedia untuk memindahkan teknologinya, sehingga Indonesia akan mampu memiliki dan mengembangkan teknologi sendiri khususnya dalam teknologi pesawat tempur. Kim Dae-jung merupakan Presiden Korea Selatan yang pertama kali menggagas dibangunnya pesawat tempur orisinil tersebut pada 2001, setelah Agency for Defense and Development (ADD) pada tahun 1999 menyelesaikan penelitian di bidang aeronautica dan aerospace untuk kemungkinan membuat pesawat tempur pribumi (orisinil). Pada awal perencanaannya, pesawat tempur ini ditargetkan akan selesai pada tahun 2020 dengan jumlah 120 pesawat. Dengan desain satu pilot (single seat), mesin ganda (twin engine), KFX direncanakan memiliki kemampuan stealth (tak terdeteksi radar) di atas level Eurofighter Typhoon dan Dassault’s Rafale, namun masih di bawah F-35 Joint Strike Fighter(JSF).
Proses Akusisi Pertahanan KFX/IFX
Penjelasan akuisisi pertahanan yang fokus pada faktor eksternal disebut sebagai aspek permintaan, sedangkan yang berfokus pada faktor internal adalah upaya untuk memenuhi permintaan tersebut dengan penawaran. Penjelasan aspek permintaan (demand) dapat dibagi kembali menjadi dua aspek, yakni aspek sistemik dan aspek institusional. Aspek sistemik adalah persepsi ancaman yang ditentukan dari situasi internasional baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Setelah ancaman tersebut didefinisikan oleh angkatan bersenjata, birokrasi pemerintah, dan parlemen, maka aspek tersebut dinamakan aspek institusional. Penjelasan aspek penawaran (supply) dapat dijabarkan ke dalam aspek penemuan, inovasi, dan integrasi. Teknologi dapat muncul pada tahap penemuan, kemudian diproduksi oleh industri sebagai tahap inovasi, dan terakhir diintegrasikan dalam operasional matra-matra militer. Kedua penjelasan aspek ini akan menjadi fokus dalam penjelasan proses akusisi pertahanan KFX/IFX.
Aspek sistemik yang menjadi landasan munculnya proyek KFX berasal dari keinginan Korea Selatan untuk membangun pesawat tempur pribumi dengan kemampuan stealth yang tinggi guna menghadapi kekuatan tempur Korea Utara yang seringkali mengancam. Korea Utara dan Korea Selatan hingga kini masih dalam kondisi berperang. Puncaknya, serangan Korea Utara ke Pulau Yeonpyeong pada 2010 menambah urgensi dikembangkannya pesawat tempur KFX tersebut. Oleh karenanya, program transformasi militer yang digiatkan oleh Korea Selatan dibangun untuk menyesuaikan ancaman dari Korea Utara, yang selama ini membangun pertahanan militernya lebih besar dari Korea Selatan (Tan 2011, 79-80).
Upaya membangun “self-defense” (pertahanan diri) dapat dikategorikan sebagai aspek institusional karena berkaitan dengan respon internal Korea Selatan terhadap kondisi sistemik eksternal yang mengelilinginya. Proyek KFX dapat dikatakan sebagai salah satu dari respon internal Korea Selatan, karena melalui proyek tersebut Korea Selatan bercita-cita memiliki pesawat tempur buatan lokal (Bae 2003, 75). Upaya mewujudkan kemandirian tersebut terus dilakukan pada awal 1990-an hingga kini. Ancaman Korea Utara masih menjadi kekhawatiran, namun meningkatnya kekuatan militer Tiongkok dan Jepang, yang mana menambah dilema keamanan di Asia Timur, turut menjadi salah satu ancaman bagi kedaulatan Korea Selatan.
Pertama, untuk membangun kemandirian di bidang pertahanan. Indonesia telah mengalami berbagai embargo dari negara-negara Barat, sehingga dapat dikatakan memiliki uang (untuk membeli senjata) belum tentu dapat menggunakannya secara leluasa. Kedua, adalah motivasi teknologi, dimana Indonesia masih sangat minim dalam hal teknologi pertahanan. Pengembangan bersama ini diharapkan dapat memungkinkan transfer teknologi ke Indonesia. Ketiga, adalah kontribusi terhadap perekonomian. Proyek dengan anggaran sebesar KFX dapat memberikan efek pengganda pada perekonomian, yang diharapkan dapat semaju Amerika Serikat yang sudah mengandalkan industri sektor pertahanannya. Ketiga motivasi utama tersebut memiliki latar belakang historis, yakni bahwa Indonesia pernah mengalami sejarah kelam rezim otoritarian militeristik. Hingga saat ini, Indonesia masih bergulat pada upaya reformasi militer guna beradaptasi dengan sistem demokrasi (Sebastian & Gindarsah 2013, h. 293). Demokrasi sendiri telah memungkinkan banyaknya tekanan terhadap organisasi militer untuk menyerahkan sepenuhnya persoalan politik kepada sipil, dan militer harus menjadi tenaga profesional murni seutuhnya guna melindungi teritorial kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam aspek penawaran, proyek KFX/IFX telah melalui satu tahap yakni tahap penemuan, yang disebut dalam proyek ini sebagai fase pengembangan teknologi (Technology Development Phase). Adapun tahap inovasi dalam proyek ini disebut sebagai fase rekayasa dan manufaktur (Engineering and Manufacturing Development Phase), dimana pada tahap ini akan dibuat purwarupa pesawat untuk diuji coba kelaikannya.
Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding (MoU)) antara Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan Kementerian Pertahanan Nasional Republik Korea ditandatangani pada 15 Juli 2010. MoU tersebut berisikan kesepakatan mengenai pengembangan bersama berikut dengan penelitian, produksi, dan pemasaran bersama antara Korea Selatan dan Indonesia untuk membangun pesawat tempur Korea (KFX) dengan kemampuan multi-role generasi ke 4,5. Adapun Korea Selatan akan menanggung 80% dan Indonesia 20% dari biaya keseluruhan.
Dalam membangun KFX/IFX, Pemerintah Republik Korea menggandeng Korean Aerospace Industry (KAI) sebagai kontraktor. KAI menggandeng perusahaan alutsista asal Amerika Serikat yakni Lockheed Martin. Peranan Lockheed Martin adalah sebagai sumber transfer teknologi yang dibutuhkan bagi pengembangan KFX/IFX. Pesawat yang akan dihasilkan dari proyek KFX/IFX merupakan kelanjutan dari T-50 Golden Eagle, yakni pesawat yang dikembangkan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat. Selain itu, Korea Selatan memiliki perjanjian offset dengan Amerika Serikat dalam pembelian pesawat tempur paling mutakhir abad ini yaitu F-35 JSF. Dari offset ini, diharapkan 25 teknologi yang telah berhasil diimplementasikan pada F-35 JSF dapat diaplikasikan ke dalam pesawat hasil dari proyek KFX/IFX.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia dan Korea Selatan telah membangun hubungan diplomatik sejak tahun 1973 yang terkait dalam sebuah koneksi yang saling menguntungkan. Kesepakatan kerja sama antara Korea Selatan dan Indonesia dibentuk dengan berlandaskan hubungan diplomatik yang telah terjalin sejak 17 September 1973. Namun kerja sama komprehensif baru disepakati pada Desember 2006, dimana Kepala Negara Indonesia dan Korea Selatan menandatangani sebuah perjanjian Kemitraan Strategis; Joint Declaration on Strategic Partnership to Promote Friendship and Cooperation in the 21st Century. Isi dari kesepakatan tersebut adalah dibentuknya The Eminent Persons Group (EPG) yang berisi kerja sama di bidang perdagangan dan investasi; kehutanan; nuclear power plant; teknologi industri kecil dan menengah; antikorupsi; pertahanan dan keamanan; pusat kebudayaan; dan pariwisata.
Menurut Kaldor (1986, 577-579) dalam akusisi pertahanan terdapat unsur permintaan (demand) dan penawaran (supply). Agar akuisisi pertahanan terjadi, kedua unsur/aspek tersebut harus bertemu. Sebagai contoh dalam kondisi perang, akusisi pertahanan otomatis akan dilakukan karena memang kebutuhan untuk menyerang musuh. Dengan kata lain permintaan dan penawaran terjadi karena adanya justifikasi peperangan. Di masa damai, posisi suatu negara dalam kancah internasional mempengaruhi dan menentukan mekanisme mandat tersebut.
Segitiga besi pertahanan merupakan bentuk relasi strategis yang membentuk MIC. Disebut kompleks, karena merujuk pada rumitnya relasi tersebut. Kerumitan yang dimaksud adalah berkaitan dengan seberapa jauh ketiga pihak tersebut membagi proporsi perannya. Jika negara (parlemen dan departmen pertahanan) lebih banyak berpengaruh, maka kedaulatan dan kemandirian lebih ditekankan. Jika industri pertahanan lebih besar perannya, maka aliansi dan kerja sama serta privatisasi (komersialisasi) akan memainkan peranan lebih besar. Dalam membangun KFX/IFX, Pemerintah Republik Korea menggandeng Korean Aerospace Industry (KAI) sebagai kontraktor. KAI menggandeng perusahaan alutsista asal Amerika Serikat yakni Lockheed Martin. Peranan Lockheed Martin adalah sebagai sumber transfer teknologi yang dibutuhkan bagi pengembangan KFX/IFX. Pesawat yang akan dihasilkan dari proyek KFX/IFX merupakan kelanjutan dari T-50 Golden Eagle, yakni pesawat yang dikembangkan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat.
DAFTAR PUSTAKA
- "Indonesia-Korea Pererat Hubungan Bilateral”, http://www.republika.co.id/berita/ nasional/umum/17/01/13/ojoxbv368indonesiakorea-perperat-hubunganbilateral, diakses 27 September 2017.
- “Gelar Indonesia-Korea Business Summit, BKPT Incar Tiga Sektor”, http://industri.bisnis. com/read/20170308/257/635289/gelarindonesia-korea-business-summit-bkptincar-tiga-sektor, diakses 27 September 2017.
- http://nasional.kompas.com/read/2011/01/11/11034158/DPR.K aji.Ulang. Kerja. Sama. Pesawat. Tempur, diakses 28 September 2017
- Hall, Abigail R. dan Coyne, Christoper J., 2013. “The Political Economy of Drones.”Jurnal Defense and Peace Economics Vol. 25, Issue 5
- http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/05/13/28420/2 5/25/Kerjasama-Dengan-Korsel-Batal-Sepihak-Indonesia-RugiRatusan-Miliar, diakses 28 September 2017
- (http://www.eir.info/2011/02/01/conflict-and-cooperationin-international-relations/, diakses pada tanggal 28 September 2017)
- www.kemhan.go.id, 26 September 2017
- www.defenseworld.net, 26 September 2017