Pengadaan alpalhankam di lingkup Kementerian Pertahanan sering mendapatkan perhatian yang cukup baik dari berbagai sudut pandang. Karena pengadaan alutsista ini menjadi tolok ukur suatu negara apakah mampu memenuhi kebutuhan pertahanan serta apakah implementasi dan prosesnya –melalui kajian dari berbagai aspek– sesuai dengan perencanaan –¬Minimum Essential Force. Dalam pelaksanaannya, proses pengadaan alutsista sering menemui perbedaan antara perencanaan dengan pelaksanaan di lapangan. Sebelumnya, proses pengadaan melibatkan pihak ketiga yang sangat merugikan negara. Ditengarai, hal ini sebagai celah untuk melakukan penyelewengan dana yang akhirnya hal tersebut dapat di atasi dengan ditetapkannya Undang-undang No.16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang memposisikan KKIP sebagai pihak independen dari pemerintah yang turut serta dalam pengadaan ini. Tentunya dengan persetujuan Kementerian Pertahanan dan Presiden yang sekaligus sebagai ketua KKIP.
Apabila saya diberikan amanah sebagai konsultan dalam pengadaan suatu alutsista, misalnya dalam pengadaan kapal selam. Hal pertama yang saya sarankan adalah mewaspadai pihak yang dapat mendekte proses pengadaan kita baik dari luar (mitra/produsen yang akan diajak kerjasama pengadaan) maupun dari pihak dalam yang mencoba mengubah perencanaan yang telah disepakati. Hal ini sebagai proteksi diri agar bangsa Indonesia konsekuen dengan perencanaan yang telah disepakati tentunya hal ini didukung dengan tahap pengkajian. Pengkajian ini hendaknya melibatkan beberapa pihak untuk bersinergi sesuai dengan kapasitas dan wewenang kelembagaan seperti Lipi, Universitas Pertahanan, Litbang, profesor, serta para praktisi dan pengguna yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di ranah kapal selam.
Terkait hal di atas, sebagai konsultan dalam pengadaan alutsista kapal selam. Saya akan mencoba mengetahui seberapa jauh pengkajian yang talah dilakukan, apakah melalui tahap-tahap pengkajian yang melibatkan berbagai pihak-pihak terkait (pengguna, akademisi dan praktisi). Apabila hal ini telah dilaksanakan dengan baik selanjutnya adalah menegaskan untuk konsisten dalam melaksanakan perencanaan sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan dari pengguna – TNI AL. Meyakinkan para stakeholder atau pemangku kekuasaan bahwa kebutuhan kapal selam ini yang tahu adalah kita sebagai pengguna bukan mereka yang mencoba memberikan saran yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang kita butuhkan.
Lebih jauh lagi, dalam pelaksaanaan pengadaan tersebut hendaknya memberikan penegasan kepada pihak penyedia (Industri Pertahanan –PT.PAL Indonesia– yang bekerjasama dengan Industri Pertahanan yang bermitra dalam pengadaan kapal selam) bahwa kerjasama yang dilakukan harus sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Serta untuk memberikan proteksi bagi PT.PAL Indonesia pemerintah harus membantu dalam memberikan kejelasan apa saja yang akan dikerjasamakan, difasilitasi dan konsekuensi-konsekuensi yang akan diperoleh dalam kerjasama tersebut. Hal ini untuk mengantisipasi penyelewengan etika kerjasama yang akan dilaksanakan.
PT.PAL dan pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian yang terkait dalam pengadaan ( Kemhan, Kemenperind dll.) harus bersinergi dan saling mendukung terwujudnya pertahanan indonesia yang kuat. Aturan yang telah ditetapkan juga harus ditaati dan dilaksanakan secara konsekuen dan dengan penuh tanggungjawab. Agar dalam proses pengadaan kapal selam ini terlaksana sesuai dengan harapan dan perencanaan yang telah ditetapkan.