Pengadaan Alpalhankam TNI

   Pengadaan merupakan serangkaian aktivitas untuk memenuhi atau menyediakan kebutuhan pasokan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan melalui sistem kontrak, pembelian langsung, produksi, penukaran, modifikasi, dan lain sebagainya. Menurut Perpres 70 Tahun 2012, pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lainnya (K/L/D/I) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan memperoleh barang/jasa. Proses pengadaan alutsista memerlukan prosedur dan proses yang benar untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas yang tepat pada waktu yang tepat, tempat yang tepat, dan dari sumber yang tepat untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi negara dan bangsa. 
   Pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) maupun alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) yang terjadi lingkungan Kemhan dan TNI bertujuan untuk membangun postur pertahanan negara sekaligus memenuhi kebutuhan alutsista TNI pada tiga matra. Modernisasi alutsista TNI telah dirumuskan dalam minimum essential force (MEF) yang tersusun dalam Rencana Strategis (Renstra) I (2010-2014) yang fokus pada penguasaan desain, II (2014-2019) yang fokus pada penguasaan teknologi, dan III (2020-2024) yang fokus pada pengembangan baru. Sasaran pengadaan dan modernisasi alutsista adalah terwujudnya kekuatan pertahanan negara pada suatu standar penangkalan. 
   Pemenuhan kebutuhan alutsista TNI dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dasar hukum pengadaan alutsista TNI terdapat dalam UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pemberdayaan industri pertahanan (indhan) dalam negri (DN) menjadi prioritas utama pemenuhan alutsista TNI. Jika indhan DN belum dapat memenuhi, maka dapat menggunaan alternatif seperti pembelian langsung dari luar negri (LN) dengan syarat mengikutsertakan indhan DN, kewajiban alih teknologi / transfer of technology (ToT), jaminan tidak adanya potensi embargo, dan mekanisme imbal dagang termasuk ofset. Hal ini bertujuan untuk membantu mewujudkan kemandirian indhan DN sehingga tidak bergantung dengan produk LN. Selain itu, dapat juga menggunakan cara akuisisi maupun pinjaman berupa kredit dari LN. 
   Pengadaan alutsista TNI memiliki beberapa permasalahan. Salah satunya adalah tidak semua alutsista yang dibutuhkan belum dapat diproduksi DN karena keterbatasan teknologi dan anggaran. Pengadaan melalui pembelian dari LN yang dilakukan pun memiliki kendala pada ToT yang dijalankan tidak sesuai dengan harapan dimana teknologi kunci tidak diberikan oleh negara pemberi alutsista. Selain itu, kemampuan merawat alutsista yang berasal dari LN juga terbatas. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka saat ini indhan melakukan kerjasama dalam pembuatan alutsista dengan negara-negara lain. Kerjasama yang dilakukan berupa membuat produk alutsista secara bersamaan maupun pembagian produksi (joint production). Hal ini sudah dilakukan pada pengadaan kapal selam dengan Korea Selatan maupun rencana pembuatan KFX/IFX di PT Dirgantara Indonesia. Upaya tersebut dilakukan agar Indonesia tidak hanya serta merta mendatangkan alutsista dari LN, akan tetapi indhan DN juga dilibatkan agar dapat mengembangkan kemampuan dalam hal pengembangan teknologi untuk menuju kemandirian indhan DN. Pemilihan teknologi dalam proses ToT juga memiliki permasalahan. Indonesia belum dapat menentukan teknologi yang tepat dan benar-benar dibutuhkan dalam pengembangan teknologi alutsistanya. 


Oleh : Muhammad Didik Nugraha M.Han